Kebudayaan Suku Pamona
1. Musik
berita poso terkini ~ Secara tradisional, suku Pamona mempunyai gaya musik dalam format kata yang diucapkan. Salah satu misal dari gaya musik yang tidak jarang dinyanyikan salah satu rakyat desa pada tahun 1940-an:-
2. Tarian
Tarian Dero, atau modero adalahtarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diselenggarakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilaksanakan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilaksanakan dengan saling bergandengan tangan, seraya berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa wilayah di Palu melarang pekerjaan tarian dero atau modero sebab sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis. Tarian Dero, dipisahkan atas tiga macam gerakan dan tahapan kaki cocok dengan ritme musik. Yang kesatu dinamakan dengan ende ntonggola, melangkahkan kaki kekanan dua langkah, selangkah ke belakang dan seterusnya berulang. Ditarikan ketika menyambut bulan purnama, di mana masa-masa mulai persiapan lahan menantikan waktu bercocok. Waktu bercocok tanam ialah saat bulan mulai gelap.
Gerakan tari yang berikutnya dinamakan dengan ende ngkoyoe atau ende ntoroli, yakni dua tahapan kekanan dan selangkah kekiri. Gerakan ini dilaksanakan saat mengantar panen, perayaan hari besar atau pesta. Gerakan tari yang terakhir dinamakan ende terdapat (adat), yang diperlihatkan untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan. Gerakannya sama dengan ende ntoroli, perbedannya terletak pada tangan semua penari yang tidak bergandengan atau berpegangan. Tarian Dero juga bermanfaat sebagai sarana hubungan sepasang kekasih di depan umum, kecuali guna tari Raego yang agak kental dengan kebiasaan dan tidak berhubungan dengan hubungan sepasang kekasih.
3. Sosial
Orang-orang Pamona hidup dalam permukiman memanjang yang tersebar di puncak bukit sepanjang lembah Sungai Poso yang dilindungi dari serangan musuh. Kehidupan keseharian dijalani dengan teknik kepemimpinan bareng melalui konsensus yang memperbolehkan Kabosenya—seorang pemimpin suku atau komunitas, beraksi sebagai wakil guna bernegosiasi dengan komunitas lain, memimpin perang antarsuku, pengiriman berburu kepala dan penangkapan budak, menata perayaan suku, dan pekerjaan lainnya. Unjuk hegemoni laksana perebutan wilayah, perburuan budak dan kulit kepala, kompetisi dagang dan sejenisnya merangsang rivalitas dan semakin memperlebar jarak antarsuku yang terlibat.
Permukiman di puncak bukit juga semakin sulit untuk diserang karena dilindungi dengan kuat. Sistem pertanian yang dilaksanakan orang-orang Pamona pada masa lampau ialah perladangan berpindah. Beras dan jagung ialah tanaman buatan utama dalam sistem ini dan semua petani Pamona seringkali memperdagangkan hasil hutan laksana damar untuk para saudagar Tionghoa atau Muslim di pesisir pantai. Hasil dagang dipakai untuk mendapat pakaian, gula, perhiasan, senjata, dan barang lainnya. Pakaian ialah barang yang lazimnya dijadikan saran tukar-menukar antarsuku.
Adat Istiadat Suku Pamona
Tradisi yang sangat sering dijumpai pada suku Pamona merupakan tradisi Katiana , yakni upacara selamatan kandungan pada masa hamil yang kesatu seorang ibu. Upacara Katiana ini seringkali dilakukan bilamana kandungan tersebut sudah berumur 6 atau 7 bulan, ketika kandungan dalam perut sang ibu telah mulai membesar. Maksud penyelenggaraan upacara Katiana ini ialah untuk memohon keselamatan ibu, lokasi tinggal tangga, dan terutama keselamatan bayi di dalam kandungan. Dengan upacara ini, bayi di dalam kandungan diinginkan dapat tumbuh subur, sempurna, dan tidak tidak sedikit mengganggu kesehatan sang ibu. Secara psikologis, upacara ini menyerahkan pegangan untuk sang ibu dan semua sanak kerabat supaya tetap tabah dan powerful menghadapi hal-hal yang lumayan kritis dalam kurun masa-masa 9 bulan masa kehamilan.
Lalu tradisi Pandungku yaitu,ucapan syukur sesudah panen.Setelah panen masyarakat Pamona selalu menyelenggarakan ucapan syukur atas berkat kesuksesan yang diserahkan Tuhan Yesus. Meskipun masyarakat Pamona mayoritas bukan petani namun harus menyelenggarakan ucapan syukur itu dan perkataan syukur itu di laksanakan di gereja dan sesudah ibadah perkataan syukur masing-masing orang bisa berangjangsana satu sama lain. Tanpa pengecualian untuk siapa saja akan berangjangsana karena acara tersebut dibikin setahun sekali. Makanannya enak-enak bila acara besar laksana ini. Selanjutnya adat perkawinan yang di pakai untuk menata mas kawin yang di tanggung oleh mempelai laki-laki yang bakal di serahkan untuk orang tua mempelai perempuan, mas kawin tersebut tidak jarang di sebut dengan “Sampapitu”.
Nah, dalam mengemban adat perkawinan itu masih terdapat sampai kini tradisi gotong royong atau menolong dalam perkawinan yang seringkali di sebut dengan “Posintuwu”. Bantuan yang diserahkan berupa bahan-bahan makanan, tenaga, duit dan sebagainya. Wujud pertolongan seperti tersebut atau Posintuwu bakal terus ada sebab setiap orang yang telah di beri Posintuwu bakal membalasnya di lantas hari andai pemberi sebuah hari menyelenggarakan pernikahan. Ada lagi upacara pemindahan mayat yang dinamakan dengan Ndatabe. Jenazah tersebut ditabung pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) hingga menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah itu tinggal tulang belulang, diselenggarakan upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang itu ke gua-gua).